Jakarta, FN – Indonesia bakal menerima komitmen pendanaan sebesar 15,64 juta NZD (New Zealand Dollar) atau Rp147,8 Miliar untuk program pengembangan energi hijau khususnya di bidang panas bumi dari Selandia Baru, melalui program kerja sama ‘Indonesia-Aotearoa New Zealand Geothermal Energy Programme (PINZ)’.
Menteri Luar Negeri Selandia Baru Nanaia Mahuta, usai menyepakati komitmen pendanaan senilai Rp 147,8 miliar menyebutkan pendanaan ini dapat membantu Indonesia mencapai target penggunaan energi terbarukan di bauran energi nasional, khususnya dalam rangka pengembangan energi panas bumi.
“Komitmen sebesar 15,6 juta dolar Selandia Baru ini akan membantu Indonesia dalam bentuk penyediaan bantuan teknis dan peningkatan kapasitas di tiga bidang utama yaitu kerangka peraturan, eksplorasi, dan peningkatan keterampilan dan kapasitas teknis tenaga kerja,” beber Nanaia usai melakukan pertemuan dengan Arifin di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Kamis (13/7/2023).
Pendanaan ini akan diberikan selama lima tahun dan dibangun atas dasar hubungan baik yang sudah berlangsung lama antara Selandia Baru dan Indonesia dalam pengembangan panas bumi.
Kerja sama panas bumi antara Selandia Baru dan Indonesia pertama kali dimulai pada tahun 1970-an, dan merupakan bagian dari kerja sama energi terbarukan yang menjadi komitmen Selandia Baru dan Indonesia di bawah Kemitraan Komprehensif pada tahun 2018.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengapresiasi Pemerintah Selandia Baru atas kerja sama dalam pengembangan panas bumi yang telah terjalin selama ini. Mengingat, RI dan Selandia Baru sepakat untuk memperpanjang kerja sama di bidang panas bumi, yang sudah berjalan sejak tahun 1970an.
“Saya berharap usaha bersama yang telah terbangun ini dapat mengakselerasi pengembangan Panas Bumi di Indonesia dan menyediakan solusi yang berkelanjutan untuk mendukung transisi energi di Indonesia,” ujar Arifin di Gedung Kementerian ESDM, Kamis (13/7/2023).
Arifin Tasrif juga menyebutkan Selandia Baru selama ini memiliki banyak sumber daya dan ahli dalam mengembangkan proyek panas bumi, termasuk pemanfaatan langsung dan inovasi dalam operasi panas bumi, seperti produksi hidrogen hijau dan Carbon Capture Storage (CCS). Maka dari itu kerja sama ini dilakukan.
Arifin menambahkan Indonesia juga diprediksi akan membutuhkan listrik sebesar 1.942 TWh pada 2060. Tantangannya adalah penyediaan listrik dari sumber energi terbarukan yang terjangkau, andal, dan berkelanjutan.
“Untuk meningkatkan pemanfaatan energi bersih, Indonesia akan membangun sekitar 700 GW pembangkit listrik energi terbarukan, mengingat Indonesia memiliki sumber energi terbarukan yang melimpah, mencapai lebih dari 3.600 GW,” kata Arifin.
Di sisi lain, Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE Harris Yahya mengatakan komitmen pendanaan yang diberikan Selandia Baru tidak serta merta dalam bentuk uang secar tunai. Menurutnya, komitmen pendanaan itu akan diberikan berupa bantuan bagi Indonesia.
Misalnya, bantuan teknis untuk melakukan eksplorasi panas bumi ataupun bantuan teknis untuk membuat regulasi panas bumi.
“Jadi gini, saya misalnya butuh technical adjusment untuk deep drilling dalam rangka pengembangan panas bumi. Mereka punya expert-nya, tolong bantu saya untuk dapat itu, dan kita dapat hasilnya,” beber Harris.
“Jadi kalau ada support teknis mereka bisa berikan ke kita, jadi bukan dalam bentuk uang diserahkan,” katanya.