Ruteng, FokusNTT- Kelompok masyarakat yang menolak pengembangan geothermal PLTP Ulumbu di Poco Leok bersama sejumlah LSM, telah melecehkan keberadaan masyarakat hukum adat (MHA) di wilayah Poco Leok dengan merombak adat istiadat yang berlaku.
Kelompok masyarakat yang menolak pengembangan geothermal di Poco Leok bersama sejumlah LSM itu telah melakukan pergantian terhadap dua tua adat atau tu’a gendang, dimana tidak sesuai dengan aturan dalam masyarakat hukum adat (MHA) Manggarai umumnya, khususnya di Poco Leok.
Pasalnya, dua tu’a gendang yang masih memangku jabatan, diganti dan diambil alih perannya oleh orang yang tidak tepat memangku jabatan tersebut.
Dua tua adat yang digantikan itu adalah tu’a gendang Pali Sale Gendang Lungar dan tu’a gendang Tere, semuanya di desa Lungar, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai.
Informasi pergantian dua tu’a gendang tersebut disampaikan oleh Raymundus Wajong, salah satu anggota komunitas gendang Lungar, dan Alfonsus Syukur selaku tu’a gendang Tere yang sebenarnya.
Pergantian dua tu’a gendang tersebut, menurut keduanya, tidak mengikuti hukum adat Manggarai yang berlaku.
Keduanya diganti oleh para penolak geothermal di wilayah hukum adat dua gendang tersebut dengan mengabaikan aturan yang berlaku.
Pergantian tu’a gendang, kata keduanya, tidak bisa dilakukan dengan cara seperti yang dilakukan dimana yang memangku jabatan itu masih hidup, dan tidak juga dengan cara musyawarah atau kemauan sepihak orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu.
Jabatan tu’a gendang, kata mereka, adalah warisan bukan melalui pemilihan.
Pergantian dua tu’a gendang tersebut, karena kepentingan para penolak termasuk LSM yang mendukung penolakan tersebut.
“Tu’a Gendang Lungar ada dua orang. Yang mereka (masyarakat penolak geothermal dan LSM pendukung penolakan geothermal) ganti Tu’a Gendang Pali Sale, yaitu Romanus Inta diganti oleh Matias Jingkar,” ungkap Raymundus Wajong kepada wartawan, Rabu (12/3).
Hal yang sama juga disampaikan Alfonsus Syukur, selaku tu’a gendang Tere yang sebenarnya.
Alfonsus Syukur mengatakan, dirinya adalah tu’a gendang Tere. Jabatannya sebagai tu’a gendang Tere berdasarkan warisan leluhurnya yang turun-temurun di wariskan, dan sebelumnya dijabat oleh ayahnya.
Adapun alasan pergantian tu’a gendang tersebut, baik Raymundus Wajong dan Alfonsus Syukur mengaku, terkait dengan sikap mereka atas kehadiran proyek geothermal di wilayah itu.
“Dasarnya karena tu’a gendang Romanus Inta mendukung program geotermal. Sementara Tu’a Gendang Pali Awo tidak diganti. Pergantian tu’a gendang itu yang dilakukan oleh kelompok penolak (geothermal) yang didukung sejumlah LSM,” ungkap Raymundus.
Hal yang sama disampaikan Alfonsus Syukur. Posisi dia sebagai tu’a gendang Tere digantikan oleh orang yang bukan orang mendiami mbaru gendang (rumah adat Manggarai) sejak terjadi penolakan terhadap proyek geothermal di wilayah itu.
Sangat disayangkan, tambah Alfonsus, orang yang menggantikan dirinya itu bukan orang yang mendiami rumah gendang Tere.
“Adat Manggarai dilecehkan karena jabatan tu’a gendang itu turun-temurun, bukan dipilih. Ini menyangkut adat. Semua kegiatan terkait adat, diambil alih oleh mereka yang menggantikan saya,” tutur Alfonsus.
Ironisnya, baik Raymundus dan Alfonsus berpendapat, justeru pelecehan terhadap masyarakat hukum adat itu dilakukan oleh pihak-pihak yang selama ini bersuara lantang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.
Masyarakat penolak geothermal di Poco Leok dan LSM yang mendukung penolakan tersebut berteriak di mana-mana bahwa keberadaan proyek geothermal di Poco Leok telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat di Poco Leok. Ternyata mereka sendiri yang melakukan itu,” tandas Raymundus Wajong.
Seperti yang diketahui, dalam berbagai aksi, masyarakat penolak dan LSM pendukung selalu menyatakan bahwa kegiatan proyek pengembangan geothermal di Poco Leok telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat setempat.
Penulis: G.Setiawan