Manggarai, FN – Pemimpin Redaksi Floresa.co, Herry Kabut dianiaya anggota Polres Manggarai, Rabu 2 Oktober 2024 lalu.
Penganiayaan itu terjadi saat Herry meliput aksi unjuk rasa warga yang menentang proyek Geothermal di Poco Leok, Kecamatan Satarmese.
Polisi yang sedang mengamankan aksi unjuk rasa merasa terganggu saat melihat Herry yang sedang mengambil gambar di lokasi.
Herry akhirnya ditangkap aparat keamanan sekitar pukul 14.37 dan baru dilepaskan pukul 18.00 Wita.
Selama ditangkap dan disekap Herry mengalami sejumlah tindak kekerasan, ponselnya juga dirampas oleh polisi yang belum percaya dengan identitas Herry sebagai Pemred Floresa.
Menanggapi kasus kekerasan itu, Tim Floresa berjanji akan menuntaskan masalah ini sampai akhir.
Saat ini Floresa sedang menyiapkan langkah hukum untuk menyikapi kasus kekerasan yang dilakukan anggota Polres Manggarai itu.
Berikut pernyataan lengkap Tim Floresa menyikapi kasus kekerasan terhadap Pemred Herry Kabut
Rekan-rekan yang kami hormati, menyikapi kasus penangkapan dan penganiayaan terhadap Pemimpin Redaksi, Herry Kabut pada 2 Oktober, kami menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, kami mengucapkan terima kasih atas perhatian dan solidaritas masyarakat umum dan lembaga-lembaga, baik komunitas pers, jaringan masyarakat sipil, sesama jurnalis, komunitas warga dan lembaga-lembaga negara seperti Komnas HAM dan Kompolnas terhadap kasus ini.
Kedua, kami memberitahukan bahwa saudara kami Herry saat ini sedang dalam proses pemulihan, baik fisik maupun psikologis dan sudah berada di tempat yang aman.
Ketiga, kami menyadari bahwa tindak kekerasan aparat kepada Herry adalah bagian dari proses pembungkaman terhadap media dan intimidasi atas gerakan kritis warga; dan untuk itu kami menolak bungkam dan melawan rasa takut.
Keempat, kami sedang mempersiapkan langkah-langkah hukum agar kejadian ini diproses seadil-adilnya dan tidak terulang kembali.
Kelima, kami terus mengharapkan perhatian dan solidaritas semua pihak untuk kelanjutan penanganan kasus ini.
Untuk diketahui Floresa adalah salah satu media paling kritis yang dari awal selalu setia berdiri bersama penderitaan warga Poco Leok yang menolak proyek Geothermal
Floresa berdiri pada 2014 dan berikhtiar untuk fokus mengawal proses-proses pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Flores khususnya.
Floresa tumbuh dan berkembang di tengah dinamika Flores dalam konteks Indonesia pasca-desentralisasi dan sistem pembangunan baru yang menyasar wilayah bagian timur.
Floresa melihat, kendati membuka peluang bagi pertumbuhan ekonomi, intensifikasi pembangunan di berbagai sektor membawa serta sejumlah soal serius, seperti pencaplokan sumber daya alam, penyangkalan hak masyarakat adat, pengrusakan hutan dan laut, serta alih fungsi kawasan konservasi menjadi kawasan bisnis pariwisata dan pertambangan.
Berhadapan dengan masalah-masalah ini, Floresa menemukan tidak banyak pihak yang memilih berdiri bersama mereka yang menjadi korban atau mau mengambil sikap kritis. Sementara itu, infrastruktur masyarakat sipil masih sangat terbatas.
Dalam situasi pertarungan kekuasaan yang asimetris semacam ini, Floresa memilih menjadi bagian dari gerakan kritis yang mau mengawal sekaligus menjadi penyambung lidah bagi mereka yang seringkali diabaikan.
Floeresa memutuskan untuk hanya berfokus pada isu-isu tertentu, dengan dua pertimbangan: isu itu berkaitan dengan kepentingan publik dan korbannya adalah mereka yang tidak berdaya, terpinggirkan, marginal.
Floresa berkolaborasi dengan sejumlah pihak, seperti organisasi media dan jurnalis, sesama media maupun dengan organisasi masyarakat sipil, bagian dari cara memperkuat diri dan memperluas jaringan.
Artikel ini terus berlanjut sampai proses hukum selesai