Oleh: Edi Danggur
Ada banyak tudingan di media sosial bahwa Bupati Manggarai adalah sumber atau penyebab konflik di Pocoleok. Surat Keputusan Penetapan Lokasi (Penlok) perluasan geothermal dianggap penyebab awal terjadinya pro dan kontra di tengah masyarakat.
Bahkan Bupati dituding sebagai provokator karena menerbitkan SK Penlok itu tanpa melakukan sosialisasi kepada masyarakat terlebih dahulu. Belum lagi, beberapa waktu lalu mengaku ke ruang publik bahwa penerbitan SK Penlok itu tanpa didiskusikan dengan dirinya terlebih dahulu.
Narasi-narasi seperti di atas, menimbulkan pertanyaan: salahkah bupati menerbitkan SK Penetapan Lokasi (Penlok)? Apakah bupati itu provokator hanya karena ia menerbitkan SK Penlok?
Masih ada pertanyaan lanjutan: darimana sumber kewajiban Bupati melakukan sosialisasi penlok? Apakah isi sosialisasi untuk meyakinkan masyarakat menerima perluasan lokasi geothermal?
Bupati Tidak Salah
Dari perspektif Bupati sebagai Pejabat Tata Usaha Negara (TUN), Bupati tidak salah. Sebab, PT PLN sebagai warga korporasi mempunyai hak yang sama dengan warga korporasi lainnya untuk mengajukan SK Penlok atau SK Ijin Lokasi bagi PT non BUMN.
Dengan demikian Bupati bukan provokator. Sebab, ketika ia menerbitkan SK Penlok, ia sedang menjalankan kewajibannya sebagai Pejabat TUN.
Bupati wajib untuk menerbitkan SK Penlok itu, asalkan syarat-syarat terpenuhi. Justru kalau bupati tidak menerbitkan SK Penlok itu, ia bisa digugat di PTUN oleh PT PLN.
Tidak Ada Kewajiban Sosialisasi
Tidak ada kewajiban bagi bupati untuk mensosialisasikan ke masyarakat setiap SK TUN yang ia terbitkan. Asalkan tidak ada hukum yang dilanggar atau tidak dilanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, bupati boleh terbitkan SK TUN apa saja.
Kecuali kalau masyarakat dirugikan akibat terbitnya SK tersebut. Dalam hal ada warga masyarakat yang merasa dirugikan, mereka berhak menggugat bupati ke PTUN.
Jika argumentasi mereka kuat, maka kemungkinan SK Penlok itu dibatalkan. Jika argumentasi lemah, maka gugatan mereka ditolak.
Dalam konteks itulah, bupati harus bersikap netral diantara pihak yang pro dan kontra geothermal. Bupati tidak boleh memihak salah satu kelompok.
Bupati tidak boleh sosialisasikan SK Penlok agar masyarakat melepaskan hak atas tanah mereka dan menerima uang ganti untung dari PT PLN. Itu bukan urusan bupati.
Masyarakat harus dibiarkan dalam keadaan bebas menggunakan haknya. Termasuk hak masyarakat untuk menolak melepaskan hak atas tanah mereka dan menolak uang ganti untung yang ditawarkan oleh PT PLN.
Bupati tidak boleh ikut campur tangan dalam urusan negosiasi ganti untung itu. Jika masyarakat menolak ganti untung dan menolak melepaskan hak atas tanah mereka, maka SK Penlok gugur dengan sendirinya.
Gugurnya atau tidak berlakunya SK Penlok itu bukan urusan bupati. Tetapi urusan masyarakat pemilik tanah dan PT PLN. Bupati pun tidak dapat disalahkan kalau SK Penlok itu gugur.
Tidak ada orang di luar diri warga masyarakat pemilik lahan yang merasa berhak melarang masyarakat melepaskan hak atas tanah mereka kepada PT PLN. Bupati sekalipun tidak berwenang.
Dadu Sudah Dibuang
Kenyataannya bahwa mayoritas masyarakat pemilik lahan dalam area perluasan lokasi geothermal sudah menerima uang ganti untung dari PT PLN. Itu berarti masalahnya sudah selesai.
Alea iacta est, kata pepatah. Artinya, dadu sudah dibuang. Dalam konteks Pocoleok, masyarakat telah mengambil keputusan menyerahkan tanah mereka dan mendapat ganti untung dari PT PLN.
Keputusan itu tidak dapat ditarik kembali. Tetapi, justru keputusan itu harus ditaati oleh masyarakat. Pacta sunt servanda! Setiap kesepakatan harus ditaati.
Memang sampai saat ini hanya 1-5 orang yang belum menerima atau menolak uang ganti untung dari PT PLN. Sesuai mekanisme hukum, PT PLN wajib melakukan konsinyasi uang ganti untung tersebut ke pengadilan.
Masyarakat boleh mengambil uang ganti untung tersebut ke PN Ruteng, kapan saja. Jika tindakan konsinyasi itu dianggap melanggar hukum, gugat PT PLN ke pengadilan. Tinggal tunjukkan dasar hukumnya.
Esensi Penlok
Warga masyarakat seyogya harus memahami esensi penlok. Agar tidak sembarang menuduh Bupati yang menerbitkan SK Penlok tersebut.
SK Penlok tidak boleh dipahami sebagai tindak sepihak Bupati untuk memberikan hak atas tanah masyarakat kepada PT PLN. Bupati tidak mempunyai hak untuk mengalihkan hak kepemilikan atas tanah warganya kepada PT PLN atau kepada warga korporasi lainnya.
SK Penlok itu HANYA menjadi dasar bagi PT PLN untuk mengadakan negosiasi pelepasan hak atas tanah dan negosiasi pemberian ganti untung kepada masyarakat.
Jika sebagian besar masyarakat pemilik tanah menolak melepaskan hak atas tanah mereka dan menolak uang ganti untung yang ditawarkan oleh PT PLN maka SK Penlok menjadi tidak berwibawa dan gugur dengan sendirinya.
Bupati, apalagi PT PLN, tidak berhak memaksa masuk ke lokasi dan memaksakan beroperasinya PT PLN di area perluasan geothermal yang merupakan tanah milik masyarakat.
Tetapi sebaliknya, ketika mayoritas masyarakat sepakat melepaskan hak atas mereka dan menerima uang ganti untung dari PT PLN, maka masalah sudah selesai.
Sesuai mekanisme hukum, tanah masyarakat tersebut berubah menjadi tanah negara. PT PLN mempunyai hak prioritas untuk mengajukan sertifikat hak yang baru atas tanah hak milik adat masyarakat tersebut ke BPN Manggarai sesuai dengan peruntukannya.
Tidak ada orang yang berhak menghalangi PT PLN untuk memasuki area perluasan geothermal yang tanahnya sudah dilepaskan oleh masyarakat pemilik lahan dan telah menerima uang ganti untung dari PT PT PLN.
Penulis adalah dosen dan praktisi hukum asal Manggarai Barat, tinggal di Jakarta